Kamis, 11 April 2013

EKONOMI ISLAM




EKONOMI ISLAM

MAKALAH
UNTUK MEMENUHI TUGAS MATAKULIAH
Ekonomi Pembangunan
yang Dibina oleh Bapak Sjafruddin A.R.


Rima Maulidya Wahyuningtyas
120431426429












UNIVERSITAS NEGERI MALANG
FAKULTAS EKONOMI
JURUSAN EKONOMI PEMBANGUNAN
SEPTEMBER 2012










KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul Ekonomi Islam. Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah ekonomi pembangunan.
Dalam proses pembuatan makalah ini, penulis telah banyak dibantu oleh berbagai pihak, sehingga karya tulis ini dapat terselesaikan dengan baik. Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak Sjafruddin A.R.selaku dosen mata kuliah yang telah bersedia membantu penulis dalam menyelesaikan karya tulis ini.
Segala upaya telah dilakukan untuk untuk menyempurnakan makalah ini, namun tidak mustahil dalam makalah ini masih terdapat kekurangan dan kesalahan. Tak ada gading yang tak retak, demikian pula dengan karya tulis ini. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari pembaca agar karya tulis ini semakin sempurna.

Malang, September 2012


Penulis





DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL i
KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI iii
BAB I PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Rumusan Masalah 1
BAB II. PEMBAHASAN 2
2.1 Pengertian Lingkungan Pendidikan 2
2.2 Fungsi Lingkungan Pendidikan Terhadap Proses Pendidikan
Manusia 2
2.3 Jenis Lingkungan Pendidikan 5
BAB III. PENUTUP 7
3.1 Kesimpulan 7
3.2 Saran 7
DAFTAR PUSTAKA 8








BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sesungguhnya telah sepuluh abad sebelum orang-orang Eropa menyusun teori-teori tentang ekonomi, telah diturunkan oleh Allah Swt sebuah analisa tentang ekonomi yang khas di daerah Arab. Hal yang lebih menarik adalah bahwa analisa ekonomi tersebut tidak mencerminkan keadaan bangsa Arab pada waktu itu, tetapi adalah untuk seluruh dunia. Jadi sesungguhnya hal tersebut merupakan hidayah dari Allah SWT, Tuhan yang mengetahui sedalam dalamnya akan isi dan hakikat dari segala sesuatu. Kemudian struktur ekonomi yang ada dalam firman Allah dan sudah sangat jelas aturan-aturannya tersebut, pernah dan telah dilaksanakan dengan baik oleh umat pada waktu itu.
Sistem ekonomi tersebut adalah susatu susunan baru yang bersifat universal, bukan merupakan ekonomi nasional bangsa Arab. Sistem ekonomi tersebut dinamakan ekonomi Islam. Dalam kehidupan bermasyarakat. Manusia selalu membutuhkan orang lain, merefleksikan diri saling tolong menolong dalam berbagai hal termasuk dalam menghadapi berbagai macam problema yang ada dalam masyarakat bahkan secara ekonomi untuk menutupi kebutuhan antara yang satu dengan yang lain melalui pola bisnis. Sifat ketergantungan seseorang kepada yang lain dirasakan sejak manusia itu dilahirkan. Setelah dewasa,  manusia tidak ada yang serba bisa, karena manusia bersifat lemah (dho’if) seseorang hanya ahli dalam bidang tertentu saja, di segi yang lain ada kekurangannya.
Setiap manusia mempunyai kebutuhan secara ekonomi, soaial, politik dan lainnya, sehingga sering terjadi pertentangan-pertentangan kehendak atau sering terjadi konflik dalam kehidupan bermasyarakat. Untuk menjaga keperluan masing-masing, perlu ada aturan-aturan yang mengatur kebutuhan manusia agar manusia itu tidak melanggar hak-hak orang lain. 






BAB II PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Kepemilikan

"Kepemilikan" sebenarnya berasal dari bahasa Arab dari akar kata "malaka" yang artinya memiliki. Dalam bahasa Arab "milk" berarti kepenguasaan orang terhadap sesuatu (barang atau harta) dan barang tersebut dalam genggamannya baik secara riil maupun secara hukum. Dimensi kepenguasaan ini direfleksikan dalam bentuk bahwa orang yang memiliki sesuatu barang berarti mempunyai kekuasaan terhadap barang tersebut sehingga ia dapat mempergunakannya menurut kehendaknya dan tidak ada orang lain, baik itu secara individual maupun kelembagaan, yang dapat menghalang-halanginya dari memanfaatkan barang yang dimilikinya itu.

Salah satu karakter yang dimiliki oleh setiap individu dalam kaitannya dengan kepentingan untuk dapat mempertahankan eksistensi kehidupannya yaitu adanya naluri (ghorizah) untuk untuk mempertahankan diri (ghorizatul baqa’) disamping naluri mempertahankan diri (ghorizatun nau’) dan naluri beragama (ghorizatut tadayyun). Ekspresi dari adanya naluri untuk mempertahankan diri tersebut adalah adanya kecenderungan dari seseorang untuk mencintai harta kekayaan. Keinginan untuk memiliki harta mendorong adanya berbagai aktivitas ekonomi dalam masyarakat. Berbagai aktivitas ekonomi muncul agar supaya dapat memenuhi kebutuhan masyarakat yang terus berkembang seiring dengan semakin maju kehidupan masyarakat. Keinginan untuk dapat memiliki harta yang banyak mendorong seseorang mau bekerja keras pagi sampai malam pada berbagai bidang ekonomi. Fenomena ini juga ditegaskan oleh Allah SWT dalam Al-Qur’an.
Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak[186] dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga). (QS Ali Imron : 14).

Jadi Islam dapat memahami adanya suatu fenomena tentang keinginan manusia untuk memiliki harta karena hal itu adalah suatu sunnatullah. Hanya persoalannya adanya bagaimana seseorang dalam upaya untuk dapat memperoleh harta dan kemudian memanfaatkannya senantiasa selaras dengan aturan-aturan yang telah digariskan dalam Islam. Permasalahan ekonomi dalam pandangan Islam merupakan suatu upaya mencapai suatu kondisi kehidupan masyarakat yang adil dan sejahtera. Keadilan dan kesejahteraan baik dalam konteks kehidupan manusia sebagai suatu individu maupun sosial, karena Islam melihat persoalan hukum dalam masalah ekonomi tidak memisahkan antara yang wajib diterapkan pada suatu komunitas dengan upaya mewujudkan kesejahteraan manusia dalam pengertian yang sebenar-benarnya baik dalam arti materi maupun non-materi, baik dunia maupun akhirat, baik individu maupun masyarakat. 

Islam telah mengatur bagaimana mengelola sumberdaya ekonomi agar tercapai suatu kondisi yang diidealkan di atas. Dalam kaitannya dengan pengaturan kekayaan Islam menetapkan ketentuan yang menyangkut aspek pengelolaan dan pemanfaatannya yaitu :

1. Pemanfaatan kekayaan, artinya bahwa kekayaan di bumi merupakan anugerah dari Allah SWT bagi kemakmuran dan kemaslahatan hidup manusia. Sehingga kekayaan yang dimiliki baik dalam lingkup pribadi, masyarakat dan negara harus benar-benar dapat dimanfaatkan bagi kesejahteraan hidup manusia. Islam sangat menentang sikap hidup masyarakat dan kebijakan negara yang membiarkan dan menterlantarkan sumber ekonomi dan kekayaan alam.

2. Pembayaran Zakat, bahwa zakat merupakan satu bentuk instrumen ekonomi yang berlandaskan syariat yang berfungsi untuk menyeimbangkan kekuatan ekonomi di antara masyarakat agar tidak terjadi goncangan kehidupan masyarakat yang ditimbulkan dari ketidakseimbangan mekanisme ekonomi dalam pengaturan aset-aset ekonomi masyarakat. Zakat merupakan suatu bentuk ketaatan seorang muslim terhadap aturan Islam yang berdampak sosial.

3. Penggunaan harta benda secara berfaedah, sumber-sumber ekonomi yang dianugerahkan Allah SWT bagi manusia adalah merupakan wujud dari sifat kasih dan sayang-Nya. Sehingga pemanfaatan sumber-sumber ekonomi harus benar-benar digunakan bagi kesejahteraan manusia dan makhluk hidup lainnya. Islam sangat mencela setiap tindakan yang dapat menganggu keseimbangan lingkungan dan mengancam kelestarian hidup manusia.

4.
Penggunaan harta benda tanpa merugikan orang lain, bahwa penggunaan aset ekonomi senantiasa diorientasikan bagi kepentingan hidup manusia secara keseluruhan. Dalam perspektif ekonomi pemanfaatan sumber ekonomi disamping efisien juga harus mencapai Pareto optimality artinya bahwa sumber daya ekonomi benar-benar dapat digunakan bagi kemaslahatan hidup masyarakat.

5. Memiliki harta benda secara sah, bahwa hak seseorang dalam penggunaan harta harus benar-benar memperhatikan kaidah syariat. Tidak dibenarkan seseorang menggunakan harta yang bukan miliknya. Aturan syariat dalam penggunaan harta menjamin ketertiban hidup di tengah masyarakat.

6. Penggunaan berimbang, pemanfaatan kekayaan menyangkut pemenuhan hidup manusia. Kebutuhan manusia menyangkut aspek jasmani dan rohani, dimensi duniawi dan ukhrohi, aspek pribadi dan sosial. Penggunaan kekayaan harus senantiasi memperhatikan keseimbangan aspek-aspek tersebut agar dapat mencapai tingkat kemanfaatan yang optimal. Islam adalah agama yang sesuai dengan fitrah manusia sehingga aturan syariat pasti menjamin keseimbangan dalam kehidupan manusia.

7. Pemanfaatan sesuai dengan hak, bahwa pemanfaatan kekayaan harus disesuaikan dengan prioritas dan kebutuhan yang tepat. Pilihan prioritas harus diterapkan secara baik agar dapat mencapai tujuan yang diinginkan. Kesalahan dalam menetapkan prioritas akan menyebabkan kesalahan dalam merumuskan kebijakan sehingga akan berdampak pada tidak tercapainya tujuan yang diharapkan.

8. Kepentingan kehidupan, bahwa pemanfaatan kekayaan harus selalu dikaitkan dengan kepentingan kelangsungan hidup manusia. Islam telah membuat satu aturan yang rapi dan teratur menyangkut pemanfaatan dan penggunaan kekayaan termasuk dalam hal pengaturan harta waris.

Syaik Taqiyuddin An-Nabhani menjelaskan bahwa sistem ekonomi diatur dalam suatu aturan yang dibangun atas tiga asas yaitu :

1. Konsep Kepemilikan (al-Milkiyah)
2. Pemanfaatan kepemilikan (Tasharuf fi al-Milkiyah)
3. Distribusi kekayaan di antara manusia (Tauzi’u al-Tsarwah bayna an-Naas)

Para fukoha memberikan batasan-batasan syar'i "kepemilikan" dengan berbagai ungkapan yang memiliki inti pengertian yang sama. Di antara yang paling terkenal adalah definisi kepemilikan yang mengatakan bahwa "milik" adalah hubungan khusus seseorang dengan sesuatu (barang) di mana orang lain terhalang untuk memasuki hubungan ini dan si empunya berkuasa untuk memanfaatkannya selama tidak ada hambatan legal yang menghalanginya.
Batasan teknis ini dapat digambarkan sebagai berikut. Ketika ada orang yang mendapatkan suatu barang atau harta melalui caara-cara yang dibenarkan oleh syara', maka terjadilah suatu hubungan khusus antara barang tersebut dengan orang yang memperolehnya. Hubungan khusus yang dimiliki oleh orang yang memperoleh barang (harta) ini memungkinkannya untuk menikmati manfaatnya dan mempergunakannya sesuai dengan keinginannya selama ia tidak terhalang hambatan-hambatan syar'i seperti gila, sakit ingatan, hilang akal, atau masih terlalu kecil sehingga belum paham memanfaatkan barang.
Dimensi lain dari hubungan khusus ini adalah bahwa orang lain, selain si empunya, tidak berhak untuk memanfaatkan atau mempergunakannya untuk tujuan apapun kecuali si empunya telah memberikan ijin, surat kuasa atau apa saja yang serupa dengan itu kepadanya. Dalam hukum Islam, si empunya atau si pemilik boleh saja seorang yang masih kecil, belum balig atau orang yang kurang waras atau gila tetapi dalam hal memanfaatkan dan menggunakan barang-barang "miliknya" mereka terhalang oleh hambatan syara' yang timbul karena sifat-sifat kedewasaan tidak dimiliki. Meskipun demikian hal ini dapat diwakilkan kepada orang lain seperti wali, washi (yang diberi wasiat) dan wakil (yang diberi kuasa untuk mewakili).



Jenis-jenis kepemilikan

Sebelumnya perlu diterangkan di sini bahwa konsep Islam tentang kepemilikan memiliki karakteristik unik yang tidak ada pada sistem ekonomi yang lain. Kepemilikan dalam Islam bersifat nisbi atau terikat dan bukan mutlak atau absolut. Pengertian nisbi di sini mengacu kepada kenyataan bahwa apa yang dimiliki manusia pada hakekatnya bukanlah kepemilikan yang sebenarnya (genuine, real) sebab, dalam konsep Islam, yang memiliki segala sesuatu di dunia ini hanyalah Allah SWT, Dialah Pemilik Tunggal jagat raya dengan segala isinya yang sebenarnya. Apa yang kini dimiliki oleh manusia pada hakekatnya adalah milik Allah yang untuk sementara waktu "diberikan" atau "dititipkan" kepada mereka, sedangkan pemilik riil tetap Allah SWT. Karena itu dalam konsep Islam, harta dan kekayaan yang dimiliki oleh setiap Muslim mengandung konotasi amanah. Dalam konteks ini hubungan khusus yang terjalin antara barang dan pemiliknya tetap melahirkan dimensi kepenguasaan, kontrol dan kebebasan untuk memanfaatkan dan mempergunakannya sesuai dengan kehendaknya namun pemanfaatan dan penggunaan itu tunduk kepada aturan main yang ditentukan oleh Pemilik riil. Kesan ini dapat kita tangkap umpamanya dalam kewajiban mengeluarkan zakat (yang bersifat wajib) dan imbauan untuk berinfak, sedekah dan menyantuni orang-orang yang membutuhkan.
Para fukoha membagi jenis-jenis kepemilikan menjadi dua yaitu kepemilikan sempurna (tamm) dan kepemilikan kurang (naaqis). Dua jenis kepemilikan ini mengacu kepada kenyataan bahwa manusia dalam kapasitasnya sebagai pemilik suatu barang dapat mempergunakan dan memanfaatkan susbstansinya saja, atau nilai gunanya saja atau kedua-duanya. Kepemilikan sempurna adalah kepemilikan seseorang terhadap barang dan juga manfaatnya sekaligus. Sedangkan kepemilikan kurang adalah yang hanya memiliki substansinya saja atau manfaatnya saja. Kedua-dua jenis kepemilikan ini akan memiliki konsekuensi syara' yang berbeda-beda ketika memasuki kontrak muamalah seperti jual beli, sewa, pinjam-meminjam dan lain-lain.






HAK KEPEMILIKAN INDIVIDU DALAM ISLAM

Dalam pembahasan mengenai hak milik individu dalam ekonomi islam ada dua hal yang diuraikan  yaitu terkait dorongan manusia untuk memiliki harta dan keterikatan  harta individu itu sendiri.

  1. Dorongan manusia untuk memiliki harta

Islam memandang manusia adalah makhluk yang memiliki dorongan-dorongan dan insting-insting sosial yang merupakan fitrah. Diantara insting itu adalah insting menyukai harta benda yang mendorong manusia melakukan usaha, membangun dan merasa ingin abadi. Pengakuan adanya insting ini banyak sekali diungkapkan dalam Al-Qur’an antara lain adalah firman Allah SWT yang artinya :
19. Dan kamu memakan harta pusaka dengan cara mencampur baurkan (harta halal dan yang batil ) ,20. Dan kamu mencintai harta benda dengan kecintaan yang berlebihan (Al-Fajar:19-20).
Disini sik[ap islam terhadap hak milik adalah sebagai berikut:
Sikap mengakui keberadaannya dan sikap menghormatinya.
  1. Islam mengakui dan menghormati hak milik dan mengatur tentang hak milik tersebut.
  2. Pengakuan dan penghormatan islam terhadap hak milik tidak seperti mazhab kapitalis yang membebaskan kendalinya begitu saja dan membiarkan bebas mereka tanpa ikatan.
  3. Penghormatan islam terhadap hak milik tampak jelas dalam penghormatannya terhadap harta benda yang merupakan tuntutan hak milik itu.
  4. Penghormatan secara hak milik itu tampak sebagai berikut:
  1. Syari’at menganggap harta termasuk lima tujuan yang wajib dijaga dan dipelihara. Lima tujuan ini adalah : agama,jiwa,akal,kehormatan dan harta.
  2. Syari’at melarang orang melanggar ketentuan atas harta ini dengan bentuk apapun dari bentuk pelanggaran.



B)    Keterikatan Hak Milik Individu
Islam mengikat kemerdekaan seseorang dalam menggunakan hak milik khususnya dengan ikatan-ikatan yang menjamin tidak adanya bahaya terhadap orang lain atau mengganggu kemaslahatan umum. Hak milik menurut islam menyangkut semua yang dimiliki manusia,meskipun hak milik itu diadakan  untuk memperoleh satu kemaslahatan (kepeningan),tetapi ia masih terikat sehingga tidak menimbulkan bahaya. Menimbulkan bahaya adalah penganiayaan, sedangkan penganiayaan itu dilarang oleh nash Al-Qur’anul karim.
Agar ada kecocokan antara kemaslahatan untuk mensyari’atkan hak itu dan bahaya yang kadang-kadang timbul dalam menggunakan hak tersebut, maka perlu adanya keseimbangan antara kepentingan orang yang mempunyai hak dari segi ukuran kepentingan tersebut, pengaruh-pengaruh dan manfaat bagi dirinya,dengan bahaya yang timbul terhadap orang lain. Kalau kepentingan yang memiliki hak itu yang lebih kuat maka tidak ada halangan bagi haknya. Namun,yang lebih kuat adalah bahaya terhadap orang lain,makan haknya dibatasi dengan ikatan yang menjamin tercegahnya marabahaya. Bahkan islam memperbolehkan pencabutan hak milik dari pemiliknya manakala ia tidak bisa menggunakan hak miliknya secara baik,sementara tidak menemukan jalan lain untuk mencegahnya.
Sejarah islam telah banyak merekam cara-cara penyesuaian ini,antara lain:
Diceritakan dalam kitab Imam Malik AL-Muwattha,bahwa seorang laki-laki bernama  Abu-Dhahak bermaksud hendaknya mengalirkan air dari tengah sungai melalui tanah milik Muhammad Bin Muslima tetapi Muhammad menolak, maka ia mengadu pada Khalifah Umar r.a. dan khalifah Umar memerintahkan Muhammad untuk melapangkan jalan,tetapi Muhammad menolaknya dan berkata” tidak : Demi Allah”. Berkatalah Umar,” kenapa kau tolak saudaramu manfaatkannya, padahal saudaramu itu bermanfaat pula bagimu kalau ia mengalirkan air pada awal dan akhir,sedang ia tidak membahayakan-Mu”. Kata Muhammad pula.”Tidak”. Maka umar berkata,” Demi Allah,lewatkan,meskipun diatas perutmu”. Maka disuruhnya Ad-Dhahak melewatkan aliran air itu.
Cara-cara penyesuaian lainnya adalah hal yang ditentukan oleh syari’at islam,seperti kewajiban menahan harta atas orang yang idiot atau gila karena kedua-duanya tidak bisa menggunakan hartanya dengan baik, dan dikawatirkan akan menghamburkan kekayaannya,sehingga menimbulkan bahaya terhadap ahli warisnya dan terhadap kemaslahatan umum.  Jelas dapat diketahui bahwa hak milik bukanlah mutlak,tetapi terbatas dengan ikatan-ikatan untuk menghilangkan marabahaya terhadap orang lain atau terhadap kemaslahatan umum. 
Kepemilikan pribadi munurut pandangan fiqih islam berbeda dengan sistem ala kapitalis maupun sosialis. Dan pembeda itu,tak lain adalah karakteristik peduli sosial dalam sistem kepimilikan islam. Namun dalam islam,target peduli sosial,tidak sampai mengingkari hak penuh bagi pemilik. Yang ada dalam islam,hanyalah memberikan aturan-aturan pada pemilik agar dalam investasi tidak menyengsarakan rakyat.
Dengan rumusan ini,berarti pandangan islam jauh berbeda dengan sistem sosiallis yang mengingkari kepemilikan individu secara total,sistem sosialis jelas mengancam pertumbuhan produksi. Dampak yang segera tampak dari sistem ini adalah membunuh daya kreatif masyarakat dan mematikan kiat kreasi individu. Akhirnya sistem ini mengancam peradapan manusia ,selain tentu mengancam perekonomian. 
Target peduli sosial,dan sistem perekonomian islam,dapat dilihat,bagaimana Al-Qur’an membatasi  dan memberikan rambu-rambu pada individu pemilik berkaitan dengan social lingkungan,kaitannya dengan harta miliknya. Al-Qur’an juga mencermati harta serta sistem oprasionalnya di masyarakat. Dengan banyak Al-Qur’an menegaskan kekhalifaan manusia,plus tanggung jawabnya. Dan Al-Qur’an juga mengingatkan kekhalifaan manusia,kaitannya dengan harta milik.
Islam mengakui dan mengabsahkan kepemilikan pribadi; menghalalkan manusia untuk menabung,menyarankan manusia berkreasi dan mengembangkan bakat dan berkerja,tapi islam memberlakukan pula berbagai aturan dan tekanan peduli social pada individu,pemilik jangan sampai dalam investasi tidak memperhatikan dampak positif-negatif terhadap pihak lain. Sebab dengan peduli social,terciptalah masyarakat ideal dan sejahtera.
Contoh paling jelas dari peduli social dalam islam adalah berbagai produk hukum islam yang telah dengan detail menjelaskan tentang kepemilikan;mulai proses awalnya,tata cara investasi dan kewajiban yang harus ditaati. Lihat tiga pilar ketentuan dalam islam berikut:
Pertama: pengendalian terhadap perilaku pemilik
Pengendalian perilaku pemilik ini berawal dari hadits Nabi SAW “ tidak dibenarkan membuat sengsara pada diri sendiri atau pada pihak lain”.hadits ini sebagai dasar syari’ah yang harus dilaksanakan. Dan hadits ini sebagai penegas keharaman akan segala perilaku yang merugikan pihak lain. Artinya,sekalipun pemilik sendiri,dalam mengoprasikan hartanya,tetap harus menjaga kaidah moral: tidak merugikan diri sendiri maupun pihak lain.
Kedua: kewajiban sumbangan social yang dibebankan pemilik
Ini sumbangan yang diwajibkan terhadap pemilik. pemilik harus membayarkan zakat tiap tahunnya,dan kemudian diserahkan kepada yang berhak. Mereka adalah yang disebut dalam ayat “ sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir,miskin,pengurus-pengurus zakat,para muallaf (orang yang baru masuk islam ), untuk memerdekakan hamba,orang-orang yang dalam perjalanan” (at-taubat:60 ).
Zakat bukanlah satu-satunya sumbangan social yang wajib dalam tatanan islam. Disana masih ada pembayaran asuransi sosial dan dana penunjang program yang senada dengan zakat. Yang terakhir ini,bentuk dan formatnya tidak baku. Formatnya disesuaikan dengan kondisi social dan perubahan sosio kemasyarakatan. Dan kewajiban terakhir ini dengan asumsi dasar : jika dana dari zakat tidak mencukupi.
Ketiga: Mencabut  hak milik pribadi saat darurat
Hukum dasar dalam kepemilikan adalah tidak sah diganggu gugat oleh pihak manapun. Sebab itu,tidak dibenarkan  tindakan apapun yang takterpuji untuk intervensi terhadap pemilik dan tak terkecuali pemerintah.
Pemerintah tidak dibenarkan sama sekali melakukan penghinaan atau apalagi penyiksaan terhadap warganya berkenaan dengan harta miliknya,sebab kepemilikan individu adalah hak yang sah diakui oleh agama,oleh karena itu,siapapun melakukan tindak kejahatan terhadap harta orang lain,maka dikenai sanksi sesuai tindak kejahatan yang dilakukan.
Sanksi hukum ini merupakan bentuk  perlindungan terhadap hak milik individu,tanpa penafian sedikit pun terhadap prinsip peduli social masyarakat.  Ada hadits yang diriwayatkan Jabir: Nabi saw. Bersabda” pihak yang bertetangga lebih mempunyai hak syuf’ah. Kalau sedang alpa,maka ditunggulah. Yang demikian,jika area obyek satu jalur”.  Syuf’ah inilah,yang lalu sebagai dalil sahnya pemerintah mengambil hak individu,jika dengan itu benar-benar terelialisasi kemaslahatan umum dengan pengandaian berbalik jika tidak,yang terjadi justru bahaya yang bakal menimpa masyarakat.
Contoh yang bisa ditarik,misalnya perluasan masjid,pembangunan jalan penting,dan rumah sakit. Khalifah umar pernah mengambil secara paksa kepemilikan tanah diseputar masjid haram,saat itu khalifah umar berkata “ kalian ini menempati area milik ka’bah. Ini kan pelataran ka’bah. Bukan sebaliknya, ka’bah menempati area bumi kalian”.
Dalam literature fikih islam,masih banyak kasus dimana disahkan pengambil alihan hak tanpa perlu persetujuan dari yang berhak. Misalnya penjualan paksa terhadap pelaku penimbunan. Sebab penjualan paksa ini penting demi antisipasi bahaya yang lahir karena penimbunan. 
Si pemilik boleh dan bebas tasarruf atau mempergunakan hartanya itu atau berbuat terhadap bendanya itu dengan sesuka hatinya,karena ini tersimpul dalam arti milik,jika dibatasi berarti bertentangan dengan milik dan bertentangan dengan kebebasan yang telah diberikan kepadanya.
Seseorang bebas menjual, mewariskan, menghadiahkan benda, memperjual belikan, menyewakan dan lain-lain miliknya selama tidak bertentangan dengan syara’.
Hak milik dibatasi dengan waktunya dengan umur pemilikannya. Pemilik tidak memiliki otoritas terhadap hartanya setelah dia meninggal,karena itu hukum waris dalam al-qur’an memberikan rincian mengenai pembagian harta peninggalan itu dan menganggap kematian sebagai akhir alami dari hak-hak seseorang atas hartanya . pembatasan ini sepenuhnya sesuai dengan konsepsi islam mengenai hak milik ,yang lebih tepat disebut sebagai khilafah yang terbatas, bukan tuntutan hak yang bersifat mutlak.(ekonomi islam)
            Menimbang kepemilikan adalah hal yang lazim bagi manusia, maka Allah memberi kekuasaan manusia untuk memiliki apa saja yang ada di bumi, tapi dengan catatan : manusia harus selalu sadar akan statusnya yang hanya di beri, sebab itu harus tunduk kepada yang memberi. Ketundukan ini harus mewujud mulai saat manusia melakukan proses kepemilikan, hingga dalam menggunakan hak miliknya. Semuanya harus sesuai syari’ah yang berkedukan sebagai ekspresi kehendak Allah.
            Maka dari itu, Islam mengesahkan kepemilikan yang bermula dari proses yang sah. Begitu juga sebaliknya, Islam sangat mengecam praktek investasi yang melanggar aturan, terutama jika dengan akibat merugikan masyarakat. jika perugian terhadap masyarakat ini terjadi, maka si pemilik berarti tidak menghiraukan masyarakat, yang sebenarnya dalam pandangan Islam mempunyai hak pada kepemilikan individu . prinsipnya, Islam tidak mengakui segala kepemilikan yang lahir dari cara yang menyimpang.
            Islam menolak paham bahwa kepemilikan adalah milik kolektif. Alasan Islam, bahwa yang demikian sama saja merobek hak individu pemilik dari apa yang dimilikinya, sekaligus memberi ruang luas pada masuknya intervensi pemerintah yang hingga mengesahkan pembredelan hak milik. Paham ini, jelas memposisikan pemerintah di antara pengatur harta yang karenanya sah membredel dan selanjutnya memberikan pada siapa saja yang dimaui pemerintah atas dalih undang-undang.
            Islam tidak menghendaki terjadinya kepincangan antara hak individu pemilik dengan hak masyarakat lain. keberhakan pemilik , dalam pandangan Islam, adalah baku, hanya pemerintah mempunyai hak intervensi atas nama undang-undang ini pun sangat terbatas pada kasus-kasus tertentu yang kaitanya adalah target sosial kemasyarakatan yang hendak diwujudkan.
            Posisi Islam yang demikian dimaksudkan untuk membuat perimbangan antara hak milik dan hak intervensi yang di takutkan berlebihan dengan dalih : demi kesejahteraan umum.
            Banyak definisi kepemilikan yang di utarakan ulama masa lalu maupun ulama sekarang. Mereka sepakat, bahwa kepemilikan adalah hak khusus pada seseorang pada suatu benda, misalnya, dan tercegahnya pihak lain ikut memanfaatkannya. Dan pemilik disahkan menggunakan hak miliknya sejauh tidak melanggar ketentuan syari’ah. contoh pelanggaran, misalnya, lepemilikan yang di dalamnya terselip hak orang lain yang diabaikan dan gangguan intern, misalnya si pemilik mengalami gangguan jiwa. Gangguan ini, juga menghalangi keasahan pemilik melakukan Tasarruf (pengoperasian harta) dalam pandangan syari’ah.
Faktor kepemilikan dalam Islam
            Islam mengakui hak milik. Tapi bersamaan dengan itu , Islam mensyaratkan banyak hal, tujuaanya agar dampak negatif kepemilikan individu dapat dihindarkan dari masyarakat, dan tidak mengganggu sosial kemasyarakatan.
            Kepemilikan yang syah menurut Islam adalah kpemilikan yang terlahir dari proses yang disyahkan Islam, berikut ini di antaranya dalam pandangan fikih Islam:
1. Menjaga hak umum.
Menjaga hak umum adalah di antara faktor yang melahirkan kepemilikan. Syaratnya, hak umum ini tidak ada yang memiliki dan si penjaga tidak mempunyai cacat hukum dalam pandangan fikih, hak milik umum misalnya air sungai, rerumputan di padang bebas, tak bertuan. Proses kepemilikan, misalnya, siapa saja yang mengangkangi satu petak rumput , misalnya , maka ia lebih berhak akan sepetak rumput itu.
2. Transaksi pemindahan hak
Yang dimaksud adalah kesepakatan antar pelaku yang sah untuk memindahkan hak kepemilikan, baik prosesnya dengan imbalan atau tanpa imbalan, misalnya jual beli dan pemberian. Transaksi adalah proses pemindahan hak milik yang paling sering terjadi.
Ada jual beli paksa yang lazimnya tidak syah, berhukum sah, dan ini berarti perkecualian. Contoh yang bisa di ambil di sini adalah pemaksaan pihak pengadilan kepada penunggak hutang untuk melunasi hutangnya atau pemaksaan terhadap penimbun agar mau menjual komoditas keperluan yang ia timbun. Ini dilakukan pengadilan murni demi antisipasi bahaya pemnimbunan bagi kesejahteraan masyarakat.
3. Penggantian.
Yang dimaksud di sini adalah penggantian posisi dari satu pihak ke pihak lain, di mana dalam prosesnya tanpa perlu ada persetujuan , baik dari pihak pertama maupun pihak kedua. Misalnya harta warisan . otomatis berpindah ke pewaris tanpa terlebih dahulu bersyarat terdapar persetujuan. Sebab peralihan hak di sini mendapatkan legalitasnya lewat ketentuan syari’ah, bukan karena kehendak manusia.
Syatrat sahnya pemindahan hak ini ialah : tidak terdapat beban hutang mayit yang menghabiskan nilai harta warisan.

BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Dalam pembahasan mengenai hak milik individu dalam ekonomi islam ada dua hal yang diuraikan  yaitu terkait dorongan manusia untuk memiliki harta dan keterikatan  harta individu itu sendiri.
A)    Dorongan manusia untuk memiliki harta
Islam memandang manusia adalah makhluk yang memiliki dorongan-dorongan dan insting-insting sosial yang merupakan fitrah. Diantara insting itu adalah insting menyukai harta benda yang mendorong manusia melakukan usaha, membangun dan merasa ingin abadi. Pengakuan adanya insting ini banyak sekali diungkapkan dalam Al-Qur’an antara lain adalah firman Allah SWT yang artinya :

19. Dan kamu memakan harta pusaka dengan cara mencampur baurkan (harta halal dan yang batil ) ,20. Dan kamu mencintai harta benda dengan kecintaan yang berlebihan (Al-Fajar:19-20).
B)     Keterikatan Hak Milik Individu
Islam mengikat kemerdekaan seseorang dalam menggunakan hak milik khususnya dengan ikatan-ikatan yang menjamin tidak adanya bahaya terhadap orang lain atau mengganggu kemaslahatan umum. Hak milik menurut islam menyangkut semua yang dimiliki manusia,meskipun hak milik itu diadakan  untuk memperoeh satu kemaslahatan (kepeningan),tetapi ia masih terikat sehingga tidak menimbulkan bahaya. Menimbulkan bahaya adalah penganiayaan, sedangkan penganiayaan itu dilarang oleh nash Al-Qur’anul karim. Kepemilikan pribadi munurut pandangan fiqih islam berbeda dengan sistem ala kapitalis maupun sosialis. Dan pembeda itu,tak lain adalah karakteristik peduli sosial dalam sistem kepimilikan islam. Namun dalam islam,target peduli sosial,tidak sampai mengingkari hak penuh bagi pemilik. Yang ada dalam islam,hanyalah memberikan aturan-aturan pada pemilik agar dalam investasi tidak menyengsarakan rakyat.
Dengan rumusan ini,berarti pandangan islam jauh berbeda dengan sistem sosiallis yang mengingkari kepemilikan individu secara total,sistem sosialis jelas mengancam pertumbuhan produksi. Dampak yang segera tampak dari sistem ini adalah membunuh daya kreatif masyarakat dan mematikan kiat kreasi individu. Akhirnya sistem ini mengancam peradapan manusia ,selain tentu mengancam perekonomian.  Islam mengakui dan mengabsahkan kepemilikan pribadi; menghalalkan manusia untuk menabung,menyarankan manusia berkreasi dan mengembangkan bakat dan berkerja,tapi islam memberlakukan pula berbagai aturan dan tekanan peduli social pada individu,pemilik jangan sampai dalam investasi tidak memperhatikan dampak positif-negatif terhadap pihak lain. Sebab dengan peduli social,terciptalah masyarakat ideal dan sejahtera. Si pemilik boleh dan bebas tasarruf atau mempergunakan hartanya itu atau berbuat terhadap bendanya itu dengan sesuka hatinya,karena ini tersimpul dalam arti milik. Seseorang bebas menjual,mewariskan,menghadiahkan benda,memperjual belikan,menyewakan dan lain-lain miliknya selama tidak bertentangan dengan syara’.







DAFTAR PUSTAKA

-          An-nabahar, faruq.sistem ekonomi islam. Yogyakarta: UUI Press,1986.
-          Nawawi, ismail. Ekonomi islam perspektif teori, sistem, dan aspek hukum. Surabaya: cv. Putra media nusantara, 2002.
-          Abdullah zaky al kaaf,Ekonomi dalam perspektif islam  (bandung: cv. Pustaka setia, 2002),
-          muhammad, saddam. Ekonomi islam. Jakarta: taramedia, 2003
-          Agus, Bustanuddin, Islam dan Ekonomi. Yogyakarta: Andalas University Press, Juli 2006.
-          Kahf, Monzer, Ekonomi Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, September 1995.
-          M. Al-Assal, Ahmad, Sistem,Prinsip dan Tujuan Ekonomi Islam.  Bandung: Pustaka Setia, 1999
-          Sudarsono, Heri, Konsep Ekonomi Islam. Yogyakarta: Ekonisia, 2004
-          Lubis, Ibrahim, Ekonomi Islam. Jakarta: Kalam Mulia, 1999
-          Alwi, Syafaruddin, Berbagai Aspek Ekonomi Islam. Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 1992.
-          Prof.Dr.H.Ismail Nawawi,MPA,M.Si, ekonomi islam prespektif teori,sistim,aspek hukum (Surabaya CV.Putra Media Nusantara, Agustus 2008)
-          Prof. A. Qodri Azizi, Ph.D, membangun Fondasi Ekonomi Umat. (Pustaka Pelajar Jogjakarta, 2004)
-          Muhammad Nejatullah Siddiqi, Kegiatan Ekonomi Dalam Islam, (Bumi Aksara, Jakarta, 1979)
-          Kamal, Mustafa. Wacana Islam dan Ekonomi; Jakarta, Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 1997.
-          Karim, Muhammad Rusli. Berbagai Aspek Ekonomi Islam; Yogyakarta, PT. Tiara Wacana Yogya, 1992.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar