EKONOMI
ISLAM
MAKALAH
UNTUK
MEMENUHI TUGAS MATAKULIAH
Ekonomi
Pembangunan
yang
Dibina oleh
Bapak Sjafruddin A.R.
Rima
Maulidya Wahyuningtyas
120431426429
UNIVERSITAS
NEGERI MALANG
FAKULTAS
EKONOMI
JURUSAN
EKONOMI PEMBANGUNAN
SEPTEMBER
2012
KATA
PENGANTAR
Puji
dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas
rahmat-Nya sehingga
penulis
dapat menyelesaikan
makalah yang berjudul Ekonomi
Islam.
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah ekonomi
pembangunan.
Dalam
proses pembuatan makalah ini, penulis telah banyak dibantu oleh
berbagai pihak, sehingga karya tulis ini dapat terselesaikan dengan
baik. Pada
kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada
Bapak
Sjafruddin A.R.selaku
dosen mata kuliah yang telah bersedia membantu penulis dalam
menyelesaikan karya tulis ini.
Segala upaya telah
dilakukan untuk untuk menyempurnakan makalah ini, namun tidak
mustahil dalam makalah ini masih terdapat kekurangan dan kesalahan.
Tak
ada gading yang tak retak, demikian pula dengan karya tulis ini. Oleh
karena itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang
bersifat
membangun dari pembaca agar karya tulis ini semakin sempurna.
Malang,
September
2012
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN
JUDUL i
KATA
PENGANTAR ii
DAFTAR
ISI iii
BAB
I PENDAHULUAN 1
1.1
Latar Belakang 1
1.2
Rumusan Masalah 1
BAB
II. PEMBAHASAN 2
2.1
Pengertian Lingkungan Pendidikan 2
2.2
Fungsi Lingkungan Pendidikan Terhadap Proses Pendidikan
Manusia 2
2.3
Jenis Lingkungan Pendidikan 5
BAB
III. PENUTUP 7
3.1
Kesimpulan 7
3.2
Saran 7
DAFTAR
PUSTAKA 8
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Sesungguhnya telah
sepuluh abad sebelum orang-orang Eropa menyusun teori-teori tentang
ekonomi, telah diturunkan oleh Allah Swt sebuah analisa tentang
ekonomi yang khas di daerah Arab. Hal yang lebih menarik adalah bahwa
analisa ekonomi tersebut tidak mencerminkan keadaan bangsa Arab pada
waktu itu, tetapi adalah untuk seluruh dunia. Jadi sesungguhnya hal
tersebut merupakan hidayah dari Allah SWT,
Tuhan yang mengetahui
sedalam
–
dalamnya
akan isi dan hakikat dari segala sesuatu. Kemudian struktur ekonomi
yang ada dalam firman Allah dan sudah sangat jelas aturan-aturannya
tersebut, pernah dan telah dilaksanakan
dengan
baik
oleh
umat pada waktu itu.
Sistem ekonomi
tersebut adalah susatu susunan baru yang bersifat universal, bukan
merupakan ekonomi nasional bangsa Arab. Sistem ekonomi tersebut
dinamakan ekonomi Islam.
Dalam
kehidupan bermasyarakat. Manusia selalu membutuhkan orang lain,
merefleksikan diri saling tolong menolong dalam berbagai hal termasuk
dalam menghadapi berbagai macam problema yang ada dalam masyarakat
bahkan secara ekonomi untuk menutupi kebutuhan antara yang satu
dengan yang lain melalui pola bisnis. Sifat ketergantungan seseorang
kepada yang lain dirasakan sejak manusia itu dilahirkan. Setelah
dewasa, manusia tidak ada yang serba bisa, karena manusia
bersifat lemah (dho’if)
seseorang hanya ahli dalam bidang tertentu saja, di segi yang lain
ada kekurangannya.
Setiap
manusia mempunyai kebutuhan secara ekonomi, soaial, politik dan
lainnya, sehingga sering terjadi pertentangan-pertentangan kehendak
atau sering terjadi konflik dalam kehidupan bermasyarakat. Untuk
menjaga keperluan masing-masing, perlu ada aturan-aturan yang
mengatur kebutuhan manusia agar manusia itu tidak melanggar hak-hak
orang lain.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1
Pengertian
Kepemilikan
"Kepemilikan"
sebenarnya berasal dari bahasa Arab dari akar kata "malaka"
yang artinya memiliki. Dalam bahasa Arab "milk" berarti
kepenguasaan orang terhadap sesuatu (barang atau harta) dan barang
tersebut dalam genggamannya baik secara riil maupun secara hukum.
Dimensi kepenguasaan ini direfleksikan dalam bentuk bahwa orang yang
memiliki sesuatu barang berarti mempunyai kekuasaan terhadap barang
tersebut sehingga ia dapat mempergunakannya menurut kehendaknya dan
tidak ada orang lain, baik itu secara individual maupun kelembagaan,
yang dapat menghalang-halanginya dari memanfaatkan barang yang
dimilikinya itu.
Salah satu karakter
yang dimiliki oleh setiap individu dalam kaitannya dengan kepentingan
untuk dapat mempertahankan eksistensi kehidupannya yaitu adanya
naluri (ghorizah) untuk untuk mempertahankan diri (ghorizatul baqa’)
disamping naluri mempertahankan diri (ghorizatun nau’) dan naluri
beragama (ghorizatut tadayyun). Ekspresi dari adanya naluri untuk
mempertahankan diri tersebut adalah adanya kecenderungan dari
seseorang untuk mencintai harta kekayaan. Keinginan untuk memiliki
harta mendorong adanya berbagai aktivitas ekonomi dalam masyarakat.
Berbagai aktivitas ekonomi muncul agar supaya dapat memenuhi
kebutuhan masyarakat yang terus berkembang seiring dengan semakin
maju kehidupan masyarakat. Keinginan untuk dapat memiliki harta yang
banyak mendorong seseorang mau bekerja keras pagi sampai malam pada
berbagai bidang ekonomi. Fenomena ini juga ditegaskan oleh Allah SWT
dalam Al-Qur’an.
Dijadikan
indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang
diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari
jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak[186] dan
sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah
tempat kembali yang baik (surga). (QS Ali Imron : 14).
Jadi
Islam dapat memahami adanya suatu fenomena tentang keinginan manusia
untuk memiliki harta karena hal itu adalah suatu sunnatullah. Hanya
persoalannya adanya bagaimana seseorang dalam upaya untuk dapat
memperoleh harta dan kemudian memanfaatkannya senantiasa selaras
dengan aturan-aturan yang telah digariskan dalam Islam. Permasalahan
ekonomi dalam pandangan Islam merupakan suatu upaya mencapai suatu
kondisi kehidupan masyarakat yang adil dan sejahtera. Keadilan dan
kesejahteraan baik dalam konteks kehidupan manusia sebagai suatu
individu maupun sosial, karena Islam melihat persoalan hukum dalam
masalah ekonomi tidak memisahkan antara yang wajib diterapkan pada
suatu komunitas dengan upaya mewujudkan kesejahteraan manusia dalam
pengertian yang sebenar-benarnya baik dalam arti materi maupun
non-materi, baik dunia maupun akhirat, baik individu maupun
masyarakat.
Islam telah mengatur bagaimana mengelola sumberdaya ekonomi agar tercapai suatu kondisi yang diidealkan di atas. Dalam kaitannya dengan pengaturan kekayaan Islam menetapkan ketentuan yang menyangkut aspek pengelolaan dan pemanfaatannya yaitu :
1. Pemanfaatan kekayaan, artinya bahwa kekayaan di bumi merupakan anugerah dari Allah SWT bagi kemakmuran dan kemaslahatan hidup manusia. Sehingga kekayaan yang dimiliki baik dalam lingkup pribadi, masyarakat dan negara harus benar-benar dapat dimanfaatkan bagi kesejahteraan hidup manusia. Islam sangat menentang sikap hidup masyarakat dan kebijakan negara yang membiarkan dan menterlantarkan sumber ekonomi dan kekayaan alam.
2. Pembayaran Zakat, bahwa zakat merupakan satu bentuk instrumen ekonomi yang berlandaskan syariat yang berfungsi untuk menyeimbangkan kekuatan ekonomi di antara masyarakat agar tidak terjadi goncangan kehidupan masyarakat yang ditimbulkan dari ketidakseimbangan mekanisme ekonomi dalam pengaturan aset-aset ekonomi masyarakat. Zakat merupakan suatu bentuk ketaatan seorang muslim terhadap aturan Islam yang berdampak sosial.
3. Penggunaan harta benda secara berfaedah, sumber-sumber ekonomi yang dianugerahkan Allah SWT bagi manusia adalah merupakan wujud dari sifat kasih dan sayang-Nya. Sehingga pemanfaatan sumber-sumber ekonomi harus benar-benar digunakan bagi kesejahteraan manusia dan makhluk hidup lainnya. Islam sangat mencela setiap tindakan yang dapat menganggu keseimbangan lingkungan dan mengancam kelestarian hidup manusia.
4. Penggunaan harta benda tanpa merugikan orang lain, bahwa penggunaan aset ekonomi senantiasa diorientasikan bagi kepentingan hidup manusia secara keseluruhan. Dalam perspektif ekonomi pemanfaatan sumber ekonomi disamping efisien juga harus mencapai Pareto optimality artinya bahwa sumber daya ekonomi benar-benar dapat digunakan bagi kemaslahatan hidup masyarakat.
5. Memiliki harta benda secara sah, bahwa hak seseorang dalam penggunaan harta harus benar-benar memperhatikan kaidah syariat. Tidak dibenarkan seseorang menggunakan harta yang bukan miliknya. Aturan syariat dalam penggunaan harta menjamin ketertiban hidup di tengah masyarakat.
6. Penggunaan berimbang, pemanfaatan kekayaan menyangkut pemenuhan hidup manusia. Kebutuhan manusia menyangkut aspek jasmani dan rohani, dimensi duniawi dan ukhrohi, aspek pribadi dan sosial. Penggunaan kekayaan harus senantiasi memperhatikan keseimbangan aspek-aspek tersebut agar dapat mencapai tingkat kemanfaatan yang optimal. Islam adalah agama yang sesuai dengan fitrah manusia sehingga aturan syariat pasti menjamin keseimbangan dalam kehidupan manusia.
7. Pemanfaatan sesuai dengan hak, bahwa pemanfaatan kekayaan harus disesuaikan dengan prioritas dan kebutuhan yang tepat. Pilihan prioritas harus diterapkan secara baik agar dapat mencapai tujuan yang diinginkan. Kesalahan dalam menetapkan prioritas akan menyebabkan kesalahan dalam merumuskan kebijakan sehingga akan berdampak pada tidak tercapainya tujuan yang diharapkan.
8. Kepentingan kehidupan, bahwa pemanfaatan kekayaan harus selalu dikaitkan dengan kepentingan kelangsungan hidup manusia. Islam telah membuat satu aturan yang rapi dan teratur menyangkut pemanfaatan dan penggunaan kekayaan termasuk dalam hal pengaturan harta waris.
Syaik Taqiyuddin An-Nabhani menjelaskan bahwa sistem ekonomi diatur dalam suatu aturan yang dibangun atas tiga asas yaitu :
1. Konsep Kepemilikan (al-Milkiyah)
2. Pemanfaatan
kepemilikan (Tasharuf fi al-Milkiyah)
3. Distribusi
kekayaan di antara manusia (Tauzi’u al-Tsarwah bayna an-Naas)
Para fukoha
memberikan batasan-batasan syar'i "kepemilikan" dengan
berbagai ungkapan yang memiliki inti pengertian yang sama. Di antara
yang paling terkenal adalah definisi kepemilikan yang mengatakan
bahwa "milik" adalah hubungan khusus seseorang dengan
sesuatu (barang) di mana orang lain terhalang untuk memasuki hubungan
ini dan si empunya berkuasa untuk memanfaatkannya selama tidak ada
hambatan legal yang menghalanginya.
Batasan teknis ini
dapat digambarkan sebagai berikut. Ketika ada orang yang mendapatkan
suatu barang atau harta melalui caara-cara yang dibenarkan oleh
syara', maka terjadilah suatu hubungan khusus antara barang tersebut
dengan orang yang memperolehnya. Hubungan khusus yang dimiliki oleh
orang yang memperoleh barang (harta) ini memungkinkannya untuk
menikmati manfaatnya dan mempergunakannya sesuai dengan keinginannya
selama ia tidak terhalang hambatan-hambatan syar'i seperti gila,
sakit ingatan, hilang akal, atau masih terlalu kecil sehingga belum
paham memanfaatkan barang.
Dimensi lain dari
hubungan khusus ini adalah bahwa orang lain, selain si empunya, tidak
berhak untuk memanfaatkan atau mempergunakannya untuk tujuan apapun
kecuali si empunya telah memberikan ijin, surat kuasa atau apa saja
yang serupa dengan itu kepadanya. Dalam hukum Islam, si empunya atau
si pemilik boleh saja seorang yang masih kecil, belum balig atau
orang yang kurang waras atau gila tetapi dalam hal memanfaatkan dan
menggunakan barang-barang "miliknya" mereka terhalang oleh
hambatan syara' yang timbul karena sifat-sifat kedewasaan tidak
dimiliki. Meskipun demikian hal ini dapat diwakilkan kepada orang
lain seperti wali, washi (yang diberi wasiat) dan wakil (yang diberi
kuasa untuk mewakili).
Jenis-jenis
kepemilikan
Sebelumnya perlu
diterangkan di sini bahwa konsep Islam tentang kepemilikan memiliki
karakteristik unik yang tidak ada pada sistem ekonomi yang lain.
Kepemilikan dalam Islam bersifat nisbi atau terikat dan bukan mutlak
atau absolut. Pengertian nisbi di sini mengacu kepada kenyataan bahwa
apa yang dimiliki manusia pada hakekatnya bukanlah kepemilikan yang
sebenarnya (genuine, real) sebab, dalam konsep Islam, yang memiliki
segala sesuatu di dunia ini hanyalah Allah SWT, Dialah Pemilik
Tunggal jagat raya dengan segala isinya yang sebenarnya. Apa yang
kini dimiliki oleh manusia pada hakekatnya adalah milik Allah yang
untuk sementara waktu "diberikan" atau "dititipkan"
kepada mereka, sedangkan pemilik riil tetap Allah SWT. Karena itu
dalam konsep Islam, harta dan kekayaan yang dimiliki oleh setiap
Muslim mengandung konotasi amanah. Dalam konteks ini hubungan khusus
yang terjalin antara barang dan pemiliknya tetap melahirkan dimensi
kepenguasaan, kontrol dan kebebasan untuk memanfaatkan dan
mempergunakannya sesuai dengan kehendaknya namun pemanfaatan dan
penggunaan itu tunduk kepada aturan main yang ditentukan oleh Pemilik
riil. Kesan ini dapat kita tangkap umpamanya dalam kewajiban
mengeluarkan zakat (yang bersifat wajib) dan imbauan untuk berinfak,
sedekah dan menyantuni orang-orang yang membutuhkan.
Para fukoha membagi
jenis-jenis kepemilikan menjadi dua yaitu kepemilikan sempurna (tamm)
dan kepemilikan kurang (naaqis). Dua jenis kepemilikan ini mengacu
kepada kenyataan bahwa manusia dalam kapasitasnya sebagai pemilik
suatu barang dapat mempergunakan dan memanfaatkan susbstansinya saja,
atau nilai gunanya saja atau kedua-duanya. Kepemilikan sempurna
adalah kepemilikan seseorang terhadap barang dan juga manfaatnya
sekaligus. Sedangkan kepemilikan kurang adalah yang hanya memiliki
substansinya saja atau manfaatnya saja. Kedua-dua jenis kepemilikan
ini akan memiliki konsekuensi syara' yang berbeda-beda ketika
memasuki kontrak muamalah seperti jual beli, sewa, pinjam-meminjam
dan lain-lain.
HAK
KEPEMILIKAN
INDIVIDU
DALAM ISLAM
Dalam
pembahasan mengenai hak milik individu dalam ekonomi islam ada dua
hal yang diuraikan yaitu terkait dorongan manusia untuk
memiliki harta dan keterikatan harta individu itu sendiri.
- Dorongan manusia untuk memiliki harta
Islam
memandang manusia adalah makhluk yang memiliki dorongan-dorongan dan
insting-insting sosial yang merupakan fitrah. Diantara insting itu
adalah insting menyukai harta benda yang mendorong manusia melakukan
usaha, membangun dan merasa ingin abadi. Pengakuan adanya insting ini
banyak sekali diungkapkan dalam Al-Qur’an antara lain adalah firman
Allah SWT yang artinya :
19.
Dan kamu memakan harta pusaka dengan cara mencampur baurkan (harta
halal dan yang batil ) ,20. Dan kamu mencintai harta benda dengan
kecintaan yang berlebihan (Al-Fajar:19-20).
Disini
sik[ap islam terhadap hak milik adalah sebagai berikut:
Sikap
mengakui keberadaannya dan sikap menghormatinya.
- Islam mengakui dan menghormati hak milik dan mengatur tentang hak milik tersebut.
- Pengakuan dan penghormatan islam terhadap hak milik tidak seperti mazhab kapitalis yang membebaskan kendalinya begitu saja dan membiarkan bebas mereka tanpa ikatan.
- Penghormatan islam terhadap hak milik tampak jelas dalam penghormatannya terhadap harta benda yang merupakan tuntutan hak milik itu.
- Penghormatan secara hak milik itu tampak sebagai berikut:
- Syari’at menganggap harta termasuk lima tujuan yang wajib dijaga dan dipelihara. Lima tujuan ini adalah : agama,jiwa,akal,kehormatan dan harta.
- Syari’at melarang orang melanggar ketentuan atas harta ini dengan bentuk apapun dari bentuk pelanggaran.
B)
Keterikatan
Hak Milik Individu
Islam mengikat
kemerdekaan seseorang dalam menggunakan hak milik khususnya dengan
ikatan-ikatan yang menjamin tidak adanya bahaya terhadap orang lain
atau mengganggu kemaslahatan umum. Hak milik menurut islam menyangkut
semua yang dimiliki manusia,meskipun hak milik itu diadakan
untuk memperoleh
satu kemaslahatan (kepeningan),tetapi ia masih terikat sehingga tidak
menimbulkan bahaya. Menimbulkan bahaya adalah penganiayaan, sedangkan
penganiayaan itu dilarang oleh nash Al-Qur’anul karim.
Agar ada kecocokan
antara kemaslahatan untuk mensyari’atkan hak itu dan bahaya yang
kadang-kadang timbul dalam menggunakan hak tersebut, maka perlu
adanya keseimbangan antara kepentingan orang yang mempunyai hak dari
segi ukuran kepentingan tersebut, pengaruh-pengaruh dan manfaat bagi
dirinya,dengan bahaya yang timbul terhadap orang lain. Kalau
kepentingan yang memiliki hak itu yang lebih kuat maka tidak ada
halangan bagi haknya. Namun,yang lebih kuat adalah bahaya terhadap
orang lain,makan haknya dibatasi dengan ikatan yang menjamin
tercegahnya marabahaya. Bahkan islam memperbolehkan pencabutan hak
milik dari pemiliknya manakala ia tidak bisa menggunakan hak miliknya
secara baik,sementara tidak menemukan jalan lain untuk mencegahnya.
Sejarah
islam telah banyak merekam cara-cara penyesuaian ini,antara lain:
Diceritakan dalam
kitab Imam Malik AL-Muwattha,bahwa seorang laki-laki bernama
Abu-Dhahak bermaksud hendaknya mengalirkan air dari tengah sungai
melalui tanah milik Muhammad Bin Muslima tetapi Muhammad menolak,
maka ia mengadu pada Khalifah Umar r.a. dan khalifah Umar
memerintahkan Muhammad untuk melapangkan jalan,tetapi Muhammad
menolaknya dan berkata” tidak : Demi Allah”. Berkatalah Umar,”
kenapa kau tolak saudaramu manfaatkannya, padahal saudaramu itu
bermanfaat pula bagimu kalau ia mengalirkan air pada awal dan
akhir,sedang ia tidak membahayakan-Mu”. Kata Muhammad pula.”Tidak”.
Maka umar berkata,” Demi Allah,lewatkan,meskipun diatas perutmu”.
Maka disuruhnya Ad-Dhahak melewatkan aliran air itu.
Cara-cara
penyesuaian lainnya adalah hal yang ditentukan oleh syari’at
islam,seperti kewajiban menahan harta atas orang yang idiot atau gila
karena kedua-duanya tidak bisa menggunakan hartanya dengan baik, dan
dikawatirkan akan menghamburkan kekayaannya,sehingga menimbulkan
bahaya terhadap ahli warisnya dan terhadap kemaslahatan umum.
Jelas dapat diketahui bahwa hak milik bukanlah mutlak,tetapi terbatas
dengan ikatan-ikatan untuk menghilangkan marabahaya terhadap orang
lain atau terhadap kemaslahatan umum.
Kepemilikan pribadi
munurut pandangan fiqih islam berbeda dengan sistem ala kapitalis
maupun sosialis. Dan pembeda itu,tak lain adalah karakteristik peduli
sosial dalam sistem kepimilikan islam. Namun dalam islam,target
peduli sosial,tidak sampai mengingkari hak penuh bagi pemilik. Yang
ada dalam islam,hanyalah memberikan aturan-aturan pada pemilik agar
dalam investasi tidak menyengsarakan rakyat.
Dengan rumusan
ini,berarti pandangan islam jauh berbeda dengan sistem sosiallis yang
mengingkari kepemilikan individu secara total,sistem sosialis jelas
mengancam pertumbuhan produksi. Dampak yang segera tampak dari sistem
ini adalah membunuh daya kreatif masyarakat dan mematikan kiat kreasi
individu. Akhirnya sistem ini mengancam peradapan manusia ,selain
tentu mengancam perekonomian.
Target peduli
sosial,dan sistem perekonomian islam,dapat dilihat,bagaimana
Al-Qur’an membatasi dan memberikan rambu-rambu pada individu
pemilik berkaitan dengan social lingkungan,kaitannya dengan harta
miliknya. Al-Qur’an juga mencermati harta serta sistem
oprasionalnya di masyarakat. Dengan banyak Al-Qur’an menegaskan
kekhalifaan manusia,plus tanggung jawabnya. Dan Al-Qur’an juga
mengingatkan kekhalifaan manusia,kaitannya dengan harta milik.
Islam
mengakui dan mengabsahkan kepemilikan pribadi; menghalalkan manusia
untuk menabung,menyarankan manusia berkreasi dan mengembangkan bakat
dan berkerja,tapi islam memberlakukan pula berbagai aturan dan
tekanan peduli social pada individu,pemilik jangan sampai dalam
investasi tidak memperhatikan dampak positif-negatif terhadap pihak
lain. Sebab dengan peduli social,terciptalah masyarakat ideal dan
sejahtera.
Contoh
paling jelas dari peduli social dalam islam adalah berbagai produk
hukum islam yang telah dengan detail menjelaskan tentang
kepemilikan;mulai proses awalnya,tata cara investasi dan kewajiban
yang harus ditaati. Lihat tiga pilar ketentuan dalam islam berikut:
Pertama:
pengendalian terhadap perilaku pemilik
Pengendalian
perilaku pemilik ini berawal dari hadits Nabi SAW “ tidak
dibenarkan membuat sengsara pada diri sendiri atau pada pihak
lain”.hadits ini sebagai dasar syari’ah yang harus dilaksanakan.
Dan hadits ini sebagai penegas keharaman akan segala perilaku yang
merugikan pihak lain. Artinya,sekalipun pemilik sendiri,dalam
mengoprasikan hartanya,tetap harus menjaga kaidah moral: tidak
merugikan diri sendiri maupun pihak lain.
Kedua:
kewajiban sumbangan social yang dibebankan pemilik
Ini sumbangan yang
diwajibkan terhadap pemilik. pemilik harus membayarkan zakat tiap
tahunnya,dan kemudian diserahkan kepada yang berhak. Mereka adalah
yang disebut dalam ayat “ sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah
untuk orang-orang fakir,miskin,pengurus-pengurus zakat,para muallaf
(orang yang baru masuk islam ), untuk memerdekakan hamba,orang-orang
yang dalam perjalanan” (at-taubat:60 ).
Zakat bukanlah
satu-satunya sumbangan social yang wajib dalam tatanan islam. Disana
masih ada pembayaran asuransi sosial dan dana penunjang program yang
senada dengan zakat. Yang terakhir ini,bentuk dan formatnya tidak
baku. Formatnya disesuaikan dengan kondisi social dan perubahan sosio
kemasyarakatan. Dan kewajiban terakhir ini dengan asumsi dasar : jika
dana dari zakat tidak mencukupi.
Ketiga:
Mencabut hak milik pribadi saat darurat
Hukum dasar dalam
kepemilikan adalah tidak sah diganggu gugat oleh pihak manapun. Sebab
itu,tidak dibenarkan tindakan apapun yang takterpuji untuk
intervensi terhadap pemilik dan tak terkecuali pemerintah.
Pemerintah tidak
dibenarkan sama sekali melakukan penghinaan atau apalagi penyiksaan
terhadap warganya berkenaan dengan harta miliknya,sebab kepemilikan
individu adalah hak yang sah diakui oleh agama,oleh karena
itu,siapapun melakukan tindak kejahatan terhadap harta orang
lain,maka dikenai sanksi sesuai tindak kejahatan yang dilakukan.
Sanksi hukum ini
merupakan bentuk perlindungan terhadap hak milik individu,tanpa
penafian sedikit pun terhadap prinsip peduli social masyarakat.
Ada hadits yang diriwayatkan Jabir: Nabi saw. Bersabda” pihak yang
bertetangga lebih mempunyai hak syuf’ah. Kalau sedang alpa,maka
ditunggulah. Yang demikian,jika area obyek satu jalur”.
Syuf’ah inilah,yang lalu sebagai dalil sahnya pemerintah mengambil
hak individu,jika dengan itu benar-benar terelialisasi kemaslahatan
umum dengan pengandaian berbalik jika tidak,yang terjadi justru
bahaya yang bakal menimpa masyarakat.
Contoh yang bisa
ditarik,misalnya perluasan masjid,pembangunan jalan penting,dan rumah
sakit. Khalifah umar pernah mengambil secara paksa kepemilikan tanah
diseputar masjid haram,saat itu khalifah umar berkata “ kalian ini
menempati area milik ka’bah. Ini kan pelataran ka’bah. Bukan
sebaliknya, ka’bah menempati area bumi kalian”.
Dalam literature
fikih islam,masih banyak kasus dimana disahkan pengambil alihan hak
tanpa perlu persetujuan dari yang berhak. Misalnya penjualan paksa
terhadap pelaku penimbunan. Sebab penjualan paksa ini penting demi
antisipasi bahaya yang lahir karena penimbunan.
Si pemilik boleh dan
bebas tasarruf atau mempergunakan hartanya itu atau berbuat terhadap
bendanya itu dengan sesuka hatinya,karena ini tersimpul dalam arti
milik,jika dibatasi berarti bertentangan dengan milik dan
bertentangan dengan kebebasan yang telah diberikan kepadanya.
Seseorang bebas
menjual,
mewariskan,
menghadiahkan
benda,
memperjual
belikan,
menyewakan
dan lain-lain miliknya selama tidak bertentangan dengan syara’.
Hak
milik dibatasi dengan waktunya dengan umur pemilikannya. Pemilik
tidak memiliki otoritas terhadap hartanya setelah dia
meninggal,karena itu hukum waris dalam al-qur’an memberikan rincian
mengenai pembagian harta peninggalan itu dan menganggap kematian
sebagai akhir alami dari hak-hak seseorang atas hartanya . pembatasan
ini sepenuhnya sesuai dengan konsepsi islam mengenai hak milik ,yang
lebih tepat disebut sebagai khilafah yang terbatas, bukan tuntutan
hak yang bersifat mutlak.(ekonomi islam)
Menimbang
kepemilikan adalah hal yang lazim bagi manusia, maka Allah memberi
kekuasaan manusia untuk memiliki apa saja yang ada di bumi, tapi
dengan catatan : manusia harus selalu sadar akan statusnya yang hanya
di beri, sebab itu harus tunduk kepada yang memberi. Ketundukan
ini harus mewujud mulai saat manusia melakukan proses kepemilikan,
hingga dalam menggunakan hak miliknya. Semuanya harus sesuai syari’ah
yang berkedukan sebagai ekspresi kehendak Allah.
Maka dari itu, Islam
mengesahkan kepemilikan yang bermula dari proses yang sah. Begitu
juga sebaliknya, Islam sangat mengecam praktek investasi yang
melanggar aturan, terutama jika dengan akibat merugikan masyarakat.
jika perugian terhadap masyarakat ini terjadi, maka si pemilik
berarti tidak menghiraukan masyarakat, yang sebenarnya dalam
pandangan Islam mempunyai hak pada kepemilikan individu . prinsipnya,
Islam tidak mengakui segala kepemilikan yang lahir dari cara yang
menyimpang.
Islam menolak paham
bahwa kepemilikan adalah milik kolektif. Alasan Islam, bahwa yang
demikian sama saja merobek hak individu pemilik dari apa yang
dimilikinya, sekaligus memberi ruang luas pada masuknya intervensi
pemerintah yang hingga mengesahkan pembredelan hak milik. Paham ini,
jelas memposisikan pemerintah di antara pengatur harta yang karenanya
sah membredel dan selanjutnya memberikan pada siapa saja yang dimaui
pemerintah atas dalih undang-undang.
Islam tidak
menghendaki terjadinya kepincangan antara hak individu pemilik dengan
hak masyarakat lain. keberhakan pemilik , dalam pandangan Islam,
adalah baku, hanya pemerintah mempunyai hak intervensi atas nama
undang-undang ini pun sangat terbatas pada kasus-kasus tertentu yang
kaitanya adalah target sosial kemasyarakatan yang hendak diwujudkan.
Posisi Islam yang
demikian dimaksudkan untuk membuat perimbangan antara hak milik dan
hak intervensi yang di takutkan berlebihan dengan dalih : demi
kesejahteraan umum.
Banyak definisi
kepemilikan yang di utarakan ulama masa lalu maupun ulama sekarang.
Mereka sepakat, bahwa kepemilikan adalah hak khusus pada seseorang
pada suatu benda, misalnya, dan tercegahnya pihak lain ikut
memanfaatkannya. Dan pemilik disahkan menggunakan hak miliknya sejauh
tidak melanggar ketentuan syari’ah. contoh pelanggaran, misalnya,
lepemilikan yang di dalamnya terselip hak orang lain yang diabaikan
dan gangguan intern, misalnya si pemilik mengalami gangguan jiwa.
Gangguan ini, juga menghalangi keasahan pemilik melakukan Tasarruf
(pengoperasian harta) dalam pandangan syari’ah.
Faktor
kepemilikan dalam Islam
Islam mengakui hak
milik. Tapi bersamaan dengan itu , Islam mensyaratkan banyak hal,
tujuaanya agar dampak negatif kepemilikan individu dapat dihindarkan
dari masyarakat, dan tidak mengganggu sosial kemasyarakatan.
Kepemilikan yang
syah menurut Islam adalah kpemilikan yang terlahir dari proses yang
disyahkan Islam, berikut ini di antaranya dalam pandangan fikih
Islam:
1.
Menjaga hak umum.
Menjaga
hak umum adalah di antara faktor yang melahirkan kepemilikan.
Syaratnya, hak umum ini tidak ada yang memiliki dan si penjaga tidak
mempunyai cacat hukum dalam pandangan fikih, hak milik umum misalnya
air sungai, rerumputan di padang bebas, tak bertuan. Proses
kepemilikan, misalnya, siapa saja yang mengangkangi satu petak rumput
, misalnya , maka ia lebih berhak akan sepetak rumput itu.
2.
Transaksi
pemindahan hak
Yang dimaksud adalah
kesepakatan antar pelaku yang sah untuk memindahkan hak kepemilikan,
baik prosesnya dengan imbalan atau tanpa imbalan, misalnya jual beli
dan pemberian. Transaksi adalah proses pemindahan hak milik yang
paling sering terjadi.
Ada
jual beli paksa yang lazimnya tidak syah, berhukum sah, dan ini
berarti perkecualian. Contoh yang bisa di ambil di sini adalah
pemaksaan pihak pengadilan kepada penunggak hutang untuk melunasi
hutangnya atau pemaksaan terhadap penimbun agar mau menjual komoditas
keperluan yang ia timbun. Ini dilakukan pengadilan murni demi
antisipasi bahaya pemnimbunan bagi kesejahteraan masyarakat.
3. Penggantian.
Yang
dimaksud di sini adalah penggantian posisi dari satu pihak ke pihak
lain, di mana dalam prosesnya tanpa perlu ada persetujuan , baik dari
pihak pertama maupun pihak kedua. Misalnya harta warisan . otomatis
berpindah ke pewaris tanpa terlebih dahulu bersyarat terdapar
persetujuan. Sebab peralihan hak di sini mendapatkan legalitasnya
lewat ketentuan syari’ah, bukan karena kehendak manusia.
Syatrat
sahnya pemindahan hak ini ialah : tidak terdapat beban hutang mayit
yang menghabiskan nilai harta warisan.
BAB
III
PENUTUP
Kesimpulan
Dalam pembahasan
mengenai hak milik individu dalam ekonomi islam ada dua hal yang
diuraikan yaitu terkait dorongan manusia untuk memiliki harta
dan keterikatan harta individu itu sendiri.
A)
Dorongan
manusia untuk memiliki harta
Islam memandang
manusia adalah makhluk yang memiliki dorongan-dorongan dan
insting-insting sosial yang merupakan fitrah. Diantara insting itu
adalah insting menyukai harta benda yang mendorong manusia melakukan
usaha, membangun dan merasa ingin abadi. Pengakuan adanya insting ini
banyak sekali diungkapkan dalam Al-Qur’an antara lain adalah firman
Allah SWT yang artinya :
19. Dan kamu memakan
harta pusaka dengan cara mencampur baurkan (harta halal dan yang
batil ) ,20. Dan kamu mencintai harta benda dengan kecintaan yang
berlebihan (Al-Fajar:19-20).
B)
Keterikatan
Hak Milik Individu
Islam mengikat
kemerdekaan seseorang dalam menggunakan hak milik khususnya dengan
ikatan-ikatan yang menjamin tidak adanya bahaya terhadap orang lain
atau mengganggu kemaslahatan umum. Hak milik menurut islam menyangkut
semua yang dimiliki manusia,meskipun hak milik itu diadakan
untuk memperoeh satu kemaslahatan (kepeningan),tetapi ia masih
terikat sehingga tidak menimbulkan bahaya. Menimbulkan bahaya adalah
penganiayaan, sedangkan penganiayaan itu dilarang oleh nash
Al-Qur’anul karim. Kepemilikan pribadi munurut pandangan fiqih
islam berbeda dengan sistem ala kapitalis maupun sosialis. Dan
pembeda itu,tak lain adalah karakteristik peduli sosial dalam sistem
kepimilikan islam. Namun dalam islam,target peduli sosial,tidak
sampai mengingkari hak penuh bagi pemilik. Yang ada dalam
islam,hanyalah memberikan aturan-aturan pada pemilik agar dalam
investasi tidak menyengsarakan rakyat.
Dengan rumusan
ini,berarti pandangan islam jauh berbeda dengan sistem sosiallis yang
mengingkari kepemilikan individu secara total,sistem sosialis jelas
mengancam pertumbuhan produksi. Dampak yang segera tampak dari sistem
ini adalah membunuh daya kreatif masyarakat dan mematikan kiat kreasi
individu. Akhirnya sistem ini mengancam peradapan manusia ,selain
tentu mengancam perekonomian. Islam mengakui dan mengabsahkan
kepemilikan pribadi; menghalalkan manusia untuk menabung,menyarankan
manusia berkreasi dan mengembangkan bakat dan berkerja,tapi islam
memberlakukan pula berbagai aturan dan tekanan peduli social pada
individu,pemilik jangan sampai dalam investasi tidak memperhatikan
dampak positif-negatif terhadap pihak lain. Sebab dengan peduli
social,terciptalah masyarakat ideal dan sejahtera. Si pemilik boleh
dan bebas tasarruf atau mempergunakan hartanya itu atau berbuat
terhadap bendanya itu dengan sesuka hatinya,karena ini tersimpul
dalam arti milik. Seseorang bebas menjual,mewariskan,menghadiahkan
benda,memperjual belikan,menyewakan dan lain-lain miliknya selama
tidak bertentangan dengan syara’.
DAFTAR
PUSTAKA
-
An-nabahar, faruq.sistem
ekonomi islam.
Yogyakarta: UUI Press,1986.
-
Nawawi, ismail. Ekonomi islam perspektif teori, sistem, dan aspek
hukum. Surabaya: cv. Putra media nusantara, 2002.
-
Abdullah zaky al kaaf,Ekonomi
dalam perspektif islam (bandung:
cv. Pustaka setia, 2002),
-
muhammad, saddam. Ekonomi
islam.
Jakarta: taramedia, 2003
-
Agus,
Bustanuddin, Islam
dan Ekonomi.
Yogyakarta: Andalas University Press, Juli 2006.
-
Kahf,
Monzer, Ekonomi
Islam. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, September 1995.
-
M.
Al-Assal, Ahmad, Sistem,Prinsip
dan Tujuan Ekonomi Islam. Bandung:
Pustaka Setia, 1999
-
Sudarsono,
Heri, Konsep
Ekonomi Islam.
Yogyakarta: Ekonisia, 2004
-
Lubis,
Ibrahim, Ekonomi
Islam.
Jakarta: Kalam Mulia, 1999
-
Alwi,
Syafaruddin, Berbagai
Aspek Ekonomi Islam.
Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 1992.
-
Prof.Dr.H.Ismail Nawawi,MPA,M.Si,
ekonomi islam prespektif teori,sistim,aspek hukum
(Surabaya CV.Putra Media Nusantara, Agustus 2008)
-
Prof. A. Qodri Azizi, Ph.D, membangun
Fondasi Ekonomi Umat.
(Pustaka Pelajar Jogjakarta, 2004)
-
Muhammad Nejatullah Siddiqi, Kegiatan
Ekonomi Dalam Islam,
(Bumi Aksara, Jakarta, 1979)
-
Kamal,
Mustafa. Wacana
Islam dan Ekonomi;
Jakarta, Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 1997.
-
Karim,
Muhammad Rusli. Berbagai Aspek
Ekonomi Islam;
Yogyakarta, PT. Tiara Wacana Yogya, 1992.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar